KKR Aceh dan Amnesia Nasional

M.Ya‘kub Aiyub Kadir*

Dosen FH Unsyiah Aceh/ Alumni IFP Cohort 1

 Email: m.yakub.akadir@unsyiah.ac.id

Pada tanggal 19 July 2016 Komisi I DPR Aceh  memilih  tujuh orang komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, sebagai sebuah  lembaga  dalam proses penyelesaian dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia selama 30 tahun lebih konflik bersenjata di Aceh. Ini meruakan kado indah untuk masyarakat korban HAM menjelang 13 tahun  perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, dan diharapkan menjadi  stimulan untuk membangun kembali fondasi integrasi nasional  yang berkemanusian dan berperadaban.

Terhambatnya proses pembentukan KKR Aceh disebabkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006   yang memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga akhirnya dilakukan terobosan hukum melalui pembentukan Qanun nomor 17/2013 tentang KKR Aceh.

Qanun ini  menjadi salah satu capaian penting dari kemandegan beragam agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Ini  diharapkan dapat menjadi pemicu bagi hadirnya  kebijakan negara untuk menyelesaikan kasus-kasus kejahatan negara di masa lalu, dengan cara di luar pengadilan guna mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian, sehingga dapat  mencegah terulangnya kembali peristiwa pelanggaran HAM berat.

Tantangan KKR  Aceh

Beberapa tantangan yang harus diantisipasi  terkait dengan KKR di Aceh adalah seperti sulitnya koordinasi antara KKR dengan lembaga lembaga negara lainnya yang menyebabkan sulitnya pengungkapan sebuah kebenaran yang melibatkan para aparat negara. Kedua, lemahnya kesadaran dan pengetahuan  para korban pelanggaran HAM berat untuk menuntut hak haknya yang terabaikan. Ketiga, para pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat diduga memiliki kekuasaan kuat di berbagai lapisan baik di pemerintahan dan swasta, sehingga sedapat mungkin upaya KKR akan dikesampingkan. Keempat, dominasi mainstraim politik praktis dan pragmatis di sebagian besar masyarakat  yang mengenyampingkan keadilan dan martabat para korban pelanggaran dengan kompensasi bantuan tunai, seperti program BRA untuk pembangunan rumah korban konflik, beasiswa anak anak korban konflik dan Jaminan Kesehatan Aceh sudah seminimal mungkin  mengendurkan tuntutan pengungkapan kebenaran.

Kesimpulan

Proses tranformasi politik yang bergulir begitu cepat di Aceh membutuhkan rasa saling percaya di antara para pihak-pihak yang dulu pernah bersengketa. Percepatan transformasi politik ini akan terhambat dan justru akan melahirkan konflik baru apabila proses penyembuhan terhadap luka lama tidak mendapatkan perhatian yang lebih serius. Rekonsiliasi merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap suatu kekeliruan yang pernah dilakukan sebelumnya, dengan target kekeliruan dan kesalahan itu tidak diulangi lagi dimasa mendatang. Oleh karena itu  KKR  Aceh ini menjadi wadah untuk megungkapkan kebenaran, menuntut keadilan  dan mengembalikan martabat para korban di Aceh, sekaligus menjadi semangat baru bagi percepatan  pembentukan Undang Undang KKR nasional,  sebagai landasan bagi pembangunan harga diri bangsa, dan martabat kemanusiaan para korban sendiri.

KKR seperti yang dikatakan oleh Desmon Tutu, adalah upaya memaafkan, bukan melupakan. Memaafkan membutuhkan fakta kebenaran, dan kebenaran membutuhkan kejujuran. Lalu beranikan kita jujur tentang sebuah masa lalu yang kelam?

503 Service Unavailable

Service Unavailable

The server is temporarily unable to service your request due to maintenance downtime or capacity problems. Please try again later.

Additionally, a 503 Service Unavailable error was encountered while trying to use an ErrorDocument to handle the request.