HAM bukanlah produk asing yang perlu dicurigai, HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia. “Setiap orang memiliki hak untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide melalui media apa pun dan apa pun batasannya,” demikian tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia.
“Pemenuhan HAM memerlukan partisipasi masyarakat. Namun, ketika pemenuhan HAM terabaikan oleh negara dan media advokasi HAM terbelenggu, media advokasi HAM lain dibutuhkan. Saat itulah seni berbicara,” Suciwati, Dewan Pembina Museum HAM Omah Munir, mengingatkan.
Seno Gumira Ajidarma, Rektor Institut Kesenian Jakarta, menambahkan, seni akan menjadi lebih bermakna sebagai media perjuangan kemanusiaan, lebih dari sekadar “kekenesan yang mengenaskan”. Peran seni sebaga tindak penyadaran ini mewujud dalam Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik yang dilaksanakan pada Maret hingga Mei 2019. Karya-karya terbaik dari kompetisisi ini selanjutnya akan mengisi Museum HAM Omah Munir yang merupakan museum HAM pertama di Asia Tenggara. Kompetisi Omah Pepeling ‘rumah cahaya’ juga telah dilaksanakan untuk merenovasi Museum Omah Munir di Batu, Malang.
Kedalaman tema, kreativitas, inovasi, dan skill tampak begitu menonjol dalam karya-karya yang dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa Hak atas Kehidupan yang Layak di Pendopo Balai Kota Among Tani, 24-27 Juni 2019. “Touch Me If You Dare” menjadi salah satu favorit pengunjung. Patung perempuan duduk bersila dengan gaya abstrak ekspresionis ini merupakan rekonstruksi mitos tentang perempuan lajang yang hadir dalam patung Dewi Sunti Sunyaragi, patung sakral di Babad Cirebon. Siapa saja yang berani menyentuh patung itu dipercaya akan menjadi “perawan tua”. Sang perupa, Alfiah Rahdini, memaparkan, “Saya menarasikan wacana ini ke dalam framework kontemporer yang perkembangannya melalui ilmu dan teknologi revolusionernya akan selalu membuat ‘destruksi kreatif’ dalam realitas baru.” Ia pun berharap karyanya akan membawa cara parandang baru terhadap patung dan keberanian perempuan. *
Posted: Juni 25, 2019 by isjn
SENI RUPA BUKAN SEKADAR KEKENESAN YANG MENGENASKAN
Latifah (Dosen STIAB Malang, IFP Alumni Cohort VI)
HAM bukanlah produk asing yang perlu dicurigai, HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia. “Setiap orang memiliki hak untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide melalui media apa pun dan apa pun batasannya,” demikian tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia.
“Pemenuhan HAM memerlukan partisipasi masyarakat. Namun, ketika pemenuhan HAM terabaikan oleh negara dan media advokasi HAM terbelenggu, media advokasi HAM lain dibutuhkan. Saat itulah seni berbicara,” Suciwati, Dewan Pembina Museum HAM Omah Munir, mengingatkan.
Seno Gumira Ajidarma, Rektor Institut Kesenian Jakarta, menambahkan, seni akan menjadi lebih bermakna sebagai media perjuangan kemanusiaan, lebih dari sekadar “kekenesan yang mengenaskan”. Peran seni sebaga tindak penyadaran ini mewujud dalam Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik yang dilaksanakan pada Maret hingga Mei 2019. Karya-karya terbaik dari kompetisisi ini selanjutnya akan mengisi Museum HAM Omah Munir yang merupakan museum HAM pertama di Asia Tenggara. Kompetisi Omah Pepeling ‘rumah cahaya’ juga telah dilaksanakan untuk merenovasi Museum Omah Munir di Batu, Malang.
Kedalaman tema, kreativitas, inovasi, dan skill tampak begitu menonjol dalam karya-karya yang dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa Hak atas Kehidupan yang Layak di Pendopo Balai Kota Among Tani, 24-27 Juni 2019. “Touch Me If You Dare” menjadi salah satu favorit pengunjung. Patung perempuan duduk bersila dengan gaya abstrak ekspresionis ini merupakan rekonstruksi mitos tentang perempuan lajang yang hadir dalam patung Dewi Sunti Sunyaragi, patung sakral di Babad Cirebon. Siapa saja yang berani menyentuh patung itu dipercaya akan menjadi “perawan tua”. Sang perupa, Alfiah Rahdini, memaparkan, “Saya menarasikan wacana ini ke dalam framework kontemporer yang perkembangannya melalui ilmu dan teknologi revolusionernya akan selalu membuat ‘destruksi kreatif’ dalam realitas baru.” Ia pun berharap karyanya akan membawa cara parandang baru terhadap patung dan keberanian perempuan. *
Category: ISJN News