Peserta SJYC Masohi 2018 bersama Fasilitator dan Presidium ISJN
Aku tertegun di pintu masuk rumah papan sederhana milik “mama piara” ku, mematung mencoba memotret tanpa kamera langit Negeri banda Baru, Amahai, yang tampak bersih megah di hiasi ribuan bintang cemerlang berkelap-kelip. Kurekam tanpa rekorder nyanyian suara jangkrik sambil berusaha melemaskan badanku yang letih dan kaku dingin setelah naik motor ditengah dinginnya angin malam pesisir, bolak balik hampir satu jam dari Negeri Banda Baru menuju Kota Masohi hanya untuk menemukan mesin ATM. Inilah aku berdiri sendiri ditengah malam buta, di antara tanah dan langit yang sangat asing tapi ternyata menjadi tanah dan langit yang kuwarisi dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Sejenak aku merasa melankolis, merasa sebagai sosok istimewa, merasa bahwa Kapitan Martha Christhina Tijahahu dan Kapitan Pattimura rela menumpahkan darah mereka agar aku hari ini bisa hadir dan berdiri menikmati kemegahan langit Amahai ditemani sapaan merdu tembang jangkriknya. Ada rasa sedih yang menyayat mengingat bahwa besok aku harus kembali berpisah dengan tanah dan langit ini, kembali menempuh perjalanan ribuan kilometer menuju tanah kelahiranku di ujung Sumatera Selatan. Kubisikkan: “salam kenal wahai langit berbintang, salam damai wahai tanah berjangkrik merdu, dan terimalah sembah hormatku untuk para kapitan yang darahnya telah ditumpahkan untuk mempertahankan tanah ini buatku dan buat seluruh anak Indonesia”
Anganku membawa pada fakta bahwa aku hadir di sini sebagai apperentice yang harus belajar dan mengamati jalannya pelaksanaan percontohan Perkemahan Remaja Berkeadilan Sosial (Social Justice Youth Camp / SJYC), sebagai seorang yang berbasis pendidikan medis, aku menganggap bahwa SJYC ini merupakan jantung dari proyek yang sekarang sedang diemban oleh ISJN melalui pendanaan The Ford Foundation. Mengapa kusebut jantung, karena SJYC adalah upaya ISJN untuk menyadarkan kaum muda terhadap nilai-nilai keadilan social dan permasalahan kesenjangan bangsa saat ini. ISJN percaya bahwa berinvestasi pada gerakan penyadaran pemuda adalah upaya kunci untuk mencetak pejuang dan pemimpin masa depan yang akan terus mengawal dan memastikan keadilan social bagi seluruh bangsa. Berbekal modul hasil workshop di Jogjakarta yang dihadiri presidium dan beberapa member ISJN, Kawan Lusia Peilouw selaku project manager SJYC menyiapkan negeri Banda Baru, Kecamatan Amahai di Pulau Seram sebagai tempat uji coba perkemahan remaja ini. Aku salut melihat keputusan beliau memilih tempat ini yang notabene perlu waktu tempuh setidaknya 5 jam menyebrang dari Pulau Ambon. Tentu lebih mudah jika dilakukan di Ibu Kota provinsi saja, tetapi rasa keadilan dan semangat pemerataan membuat beliau meyakinkan kami bahwa Desa Kecil Banda Baru lebih layak di pilih sebagai tempat pelaksanaan.
Pilihan beliau ternyata tepat, aku melihat 25 remaja SLA yang dipilih sebagai peserta mewakili berbagai agama, wilayah dan kondisi social di Maluku sangat menginspirasi. Cukup terhenyak, menyaksikan remaja-remaja dari elemen agama Kristen dan Islam ini bisa sangat cepat akrab dan bertoleransi tinggi bahu membahu memahami materi tentang keadilan social. Ada gelitik di relung batinku: “ jika remajanya memiliki nilai toleransi setinggi ini,kenapa dulu ada konflik horizontal berbasis agama??”. Penasaran dan curiga bahwa peserta yang dipilih mungkin saja sudah di setting sebelumnya, aku tak kuasa menahan diri untuk stalking beberapa akun facebook peserta. Kembali aku dibuat terpana ternyata laman-laman facebook mereka memuat foto-foto ceria remaja lintas agama yang merajut hari depan dalam semangat toleransi. Ada foto beberapa siswi berjilbab yang tersenyum ceria bersama siswa-siswa berkalung salib dalam sebuah acara bakti social, ada lagi foto pemuda berpeci memegang bendera bersama-sama dengan sekelompok pelajar wanita dalam sebuah acara perayaan di halaman gereja. Komentar-komentar mereka pun menunjukkan bahwa mereka tidak mempermasalahkan perbedaan religi yang ada. Aku geram ketika memikirkan kemungkinan bahwa konflik-konflik terdahulu sengaja disulut segelintir elit untuk kekuasaan. Kenapa harus ada potret rumah miskin disaat tanahnya sangat subur, dimana jagung yang kumakan bisa tumbuh baik tanpa pestisida dan pupuk kimia serta tanah dimana gandaria bisa menjuntai lebat menawarkan kesegaran vitamin C ditengah panasnya angin pesisir. Kenapa dengan hasil bumi sebanyak itu jalan-jalan lintas provinsinya sepi dan lengang dari truk penggerak roda ekonomi.
Aku melihat harapan bahwa dengan mendapat mentor sekaliber Saudara Irfan dan Zaki, se-charming Gusrowi dan se-energik Mbak Etty para remaja cerdas peserta perkemahan SJYC Amahai ini akan ter-asah kepekaannya pada permasalahan social justice melalui teknik FIDS (feel, imagine, do and share) yang disampaikan secara interaktif. Berbagai kesan positif dari peserta perkemahan yang kuterima rasanya bisa diwakili oleh ekspresi Aldri Fandriksen Kasamilale:
“Kak Nathan, perkemahan ini menyadarkan saya bahwa ada banyak tugas bagi kami remaja untuk menegakkan keadilan social di Indonesia. Izinkan saya dan teman-teman memulainya dari hal kecil menyangkut permasalahan social di sekolah dan lingkungan sekitar kami. Sementara kakak-kakak ISJN teruslah bekerja menyiapkan teman-teman kami dari sekolah dan wilayah lain di Indonesia bahkan di dunia agar mereka bisa menerima kesadaran seperti kami melalui SJYC di tempat lain. Fieldtrip di Nuaulu juga mejadi tempat belajar bagi kami untuk memahami bahwa ada masyarakat adat yang berbeda tetapi menjadi bagian dari identitas kami. Terima kasih banyak karena perkemahan ini mengajari kami kepekaan social tanpa MEMPERLAKUKAN dan MEMAKSA kami menjadi orang dewasa yang serius dan membosankan. Terima kasih khusus saya sampaikan kepada Kakak Etty dengan tepuk tangannya yang membuat hari yang panas selalu terasa bagaikan pagi. I Love SJYC”.
Kodok kecil yang melompat dikakiku menyadarkanku dari lamunan. Kutatap langit Amahai yang penuh bintang. Sejenak kubayangkan wajah lelah Kawan Yani, Kawan Lusi, Kawan Dayat, Kawan Amin dan wajah sakit Kawan Iing di dera beban kerja ISJN berada diantara bintang-bintang Amahai. Kulamunkan suara Kawan Kadek, Kawan Susan dan kawan Duman diantara nyanyian jangkrik. Lelahku terasa hilang, berganti semangat bahwa aku berada diantara orang-orang hebat yang tidak akan membiarkanku melangkah sendirian menapaki jalan panjang perjuangan demi Indonesia yang berkeadilan social. Kubisikkan pada langit Amahai: “Seandainya Kapitan Martha Christina Tijahahu dan Kaptan Pattimura ditempatkan Tuhan diantara bintang-bintang untuk menjaga Bumi Maluku, izinkan aku dengan kerendahan hati meminta agar kawan-kawanku itu juga di tempatkan disana. Mungkin mereka tidak akan sehebat dua kapitan itu yang rela menumpahkan darahnya, tapi cukuplah sebagai pengobat lelah mereka berpikir dan bekerja untuk bangsa ini. Jagalah kemurnian hati mereka bagaikan kemurnian bumi Banda Baru yang tetap melindungi jangkrik dari pestisida, anugrahi mereka dengan kecermalangan pikiran bagaikan cemerlangnya bintang-bintang Amahai. Aku tidak akan serakah meminta untuk diriku, karena aku sudah diberi lebih melalui benang takdir yang membuat aku menjadi pengiring perjuangan mereka. Kutitipkan 25 bintang kecil yang lahir melalui perkemahan ini, pandulah mereka wahai para kapitan, agar mereka tumbuh menjadi penjaga keadilan di Bumi Maluku. Izinkan aku pamit kembali ke Sumatera dengan meninggalkan sekeping cintaku di tanah ini”.
Last Updated: April 16, 2018 by isjn
DIBAWAH BINTANG LANGIT AMAHAI
Sepenggal Catatan dari Pelaksanaan SJYC Maluku….
Anganku membawa pada fakta bahwa aku hadir di sini sebagai apperentice yang harus belajar dan mengamati jalannya pelaksanaan percontohan Perkemahan Remaja Berkeadilan Sosial (Social Justice Youth Camp / SJYC), sebagai seorang yang berbasis pendidikan medis, aku menganggap bahwa SJYC ini merupakan jantung dari proyek yang sekarang sedang diemban oleh ISJN melalui pendanaan The Ford Foundation. Mengapa kusebut jantung, karena SJYC adalah upaya ISJN untuk menyadarkan kaum muda terhadap nilai-nilai keadilan social dan permasalahan kesenjangan bangsa saat ini. ISJN percaya bahwa berinvestasi pada gerakan penyadaran pemuda adalah upaya kunci untuk mencetak pejuang dan pemimpin masa depan yang akan terus mengawal dan memastikan keadilan social bagi seluruh bangsa. Berbekal modul hasil workshop di Jogjakarta yang dihadiri presidium dan beberapa member ISJN, Kawan Lusia Peilouw selaku project manager SJYC menyiapkan negeri Banda Baru, Kecamatan Amahai di Pulau Seram sebagai tempat uji coba perkemahan remaja ini. Aku salut melihat keputusan beliau memilih tempat ini yang notabene perlu waktu tempuh setidaknya 5 jam menyebrang dari Pulau Ambon. Tentu lebih mudah jika dilakukan di Ibu Kota provinsi saja, tetapi rasa keadilan dan semangat pemerataan membuat beliau meyakinkan kami bahwa Desa Kecil Banda Baru lebih layak di pilih sebagai tempat pelaksanaan.
Aku melihat harapan bahwa dengan mendapat mentor sekaliber Saudara Irfan dan Zaki, se-charming Gusrowi dan se-energik Mbak Etty para remaja cerdas peserta perkemahan SJYC Amahai ini akan ter-asah kepekaannya pada permasalahan social justice melalui teknik FIDS (feel, imagine, do and share) yang disampaikan secara interaktif. Berbagai kesan positif dari peserta perkemahan yang kuterima rasanya bisa diwakili oleh ekspresi Aldri Fandriksen Kasamilale:
Kodok kecil yang melompat dikakiku menyadarkanku dari lamunan. Kutatap langit Amahai yang penuh bintang. Sejenak kubayangkan wajah lelah Kawan Yani, Kawan Lusi, Kawan Dayat, Kawan Amin dan wajah sakit Kawan Iing di dera beban kerja ISJN berada diantara bintang-bintang Amahai. Kulamunkan suara Kawan Kadek, Kawan Susan dan kawan Duman diantara nyanyian jangkrik. Lelahku terasa hilang, berganti semangat bahwa aku berada diantara orang-orang hebat yang tidak akan membiarkanku melangkah sendirian menapaki jalan panjang perjuangan demi Indonesia yang berkeadilan social. Kubisikkan pada langit Amahai: “Seandainya Kapitan Martha Christina Tijahahu dan Kaptan Pattimura ditempatkan Tuhan diantara bintang-bintang untuk menjaga Bumi Maluku, izinkan aku dengan kerendahan hati meminta agar kawan-kawanku itu juga di tempatkan disana. Mungkin mereka tidak akan sehebat dua kapitan itu yang rela menumpahkan darahnya, tapi cukuplah sebagai pengobat lelah mereka berpikir dan bekerja untuk bangsa ini. Jagalah kemurnian hati mereka bagaikan kemurnian bumi Banda Baru yang tetap melindungi jangkrik dari pestisida, anugrahi mereka dengan kecermalangan pikiran bagaikan cemerlangnya bintang-bintang Amahai. Aku tidak akan serakah meminta untuk diriku, karena aku sudah diberi lebih melalui benang takdir yang membuat aku menjadi pengiring perjuangan mereka. Kutitipkan 25 bintang kecil yang lahir melalui perkemahan ini, pandulah mereka wahai para kapitan, agar mereka tumbuh menjadi penjaga keadilan di Bumi Maluku. Izinkan aku pamit kembali ke Sumatera dengan meninggalkan sekeping cintaku di tanah ini”.
Category: ISJN News