Melalui rapat koordinasi Badan Legislasi dengan para pimpinan Komisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, pada tanggal 30 Juni 2020, DPR mencabut Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Keputusan DPR ini sangat mengecewakan banyak pihak terutama para korban kekerasan seksual dan para penyintas kekerasan seksual. Hal yang paling menyedihkan adalah lunturnya upaya penegakan Hak Asasi Manusia, agar terbebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Dengan keputusan ini DPR RI juga telah gagal meletakkan program perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai prioritas seperti yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Dengan langkah ini DPR RI juga mengingkari pentingnya UU PKS sebagai elemen dasar penegakan hukum untuk mengurangi aksi kekerasan seksual di Indonesia. Sebagai representasi politik rakyat, seharusnya DPR memahami bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual melalui RUU ini sungguh-sungguh dibutuhkan, dan telah ditunggu sejak lama sejak 2012 seperti yang sudah di-inisiasi oleh gerakan perempuan dan Komnas Perempuan sejak tahun 2012.
Selama 8 tahun, RUU kekerasan seksual hanya menjadi tumpukan berkas di meja para anggota Dewan yang terhormat, meski sesungguhnya pernah menjadi bagian dari Prolegnas Prioritas 2016. Selama 8 tahun ini pula korban berjatuhan tanpa ada perlindungan yang tegas dan mendapatkan keadilan. Dan sungguh menyedihkan, penantian itu malah akan berujung pupusnya harapan karena DPR malah mencabut RUU tersebut dari Prolegnas Prioritas 2020.
Keputusan DPR mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas bertentangan dengan prinsip kewajiban negara untuk memberikan dan menjamin perlindungan warga negara dari ancaman kekerasan seksual. DPR jelas-jelas menolak memahami dan tidak mempertimbangkan bahwa kekerasan seksual dengan segala akibatnya adalah persoalan sangat serius. Sikap anggota Dewan yang mengabaikan RUU secara langsung potensi pembiaran pelaku kekerasan seksual dari satu generasi ke generasi selanjutnya, tanpa ada kemampuan untuk memotong rantai kekerasan seksual.
Seharusnya pengesahan RUU PKS akan memberikan harapan baru bagi para korban dan penyintas untuk berani bersuara dan melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Seharusnya penegakan hukum bagi korban kekerasan seksual yang mungkin didapat melalui pengesahan UU PKS. Ironisnya DPR tidak mempunyai wawasan dan kemampuan untuk melihat dengan mata batin kerentanan yang dialami oleh kaum perempuan maupun anak-anak.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Indonesia Social Justice Network (ISJN), organisasi para alumni penerima beasiswa International Fellowship Programs (IFP) dari Ford Foundation, menyatakan sikap:
ISJN menilai keberadaan UU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah mutlak untuk memperkuat upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia, sekaligus untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang mampu menjamin warganya agar terbebas dari ancaman kekerasan seksual, sebagai wujud nyata perlindungan negara.
ISJN meminta dengan tegas agar DPR RI memastikan agar pembahasan dan pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual tetap dijalankan karena itu merupakan kewajiban negara untuk memastikan bahwa negara bertanggungjawab dalam menjamin warga negara untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual.
ISJN menolak keputusan DPR untuk mencabut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas Prioritas 2020 dan mendesak DPR untuk mengembalikan RUU tersebut pada Prolegnas Prioritas 2020 dan segera membahas dan mengesahkannya menjadi Undang-Undang.
ISJN mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar bekerjasama dengan semua instansi pemerintah dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan melakukan lobi dan upaya lainnya terhadap DPR untuk mengembalikan RUU PKS dari Prolegnas 2020, segera membahas dan mengesahkannya menjadi UU dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
ISJN mengajak agar seluruh komponen masyarakat terlibat aktif untuk menekan wakilnya di DPR RI untuk memastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak dieliminir dan diabaikan.
Sekali lagi ISJN mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama mendorong dan mendesak DPR segera mengembalikan RUU PKS pada Prolegnas Prioritas 2020 dan mendukung pembahasan dan pengesahan RUU tersebut.
ISJN juga mengajak semua warga masyarakat untuk bersama-sama mengkampanyekan gerakan anti kekerasan seksual dan membangun kepedulian dan solidaritas, saling mendukung dan menguatkan berbagai upaya memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat dengan untuk didengar oleh para anggota DPR yang terhormat.
Posted: Juli 13, 2020 by isjn
Menolak Pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas Prioritas 2020
Pernyataan Sikap
Indonesia Social Justice Network (ISJN)
“Menolak Pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
dari Prolegnas Prioritas 2020”
Jakarta, 10 Juli 2020
Melalui rapat koordinasi Badan Legislasi dengan para pimpinan Komisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, pada tanggal 30 Juni 2020, DPR mencabut Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Keputusan DPR ini sangat mengecewakan banyak pihak terutama para korban kekerasan seksual dan para penyintas kekerasan seksual. Hal yang paling menyedihkan adalah lunturnya upaya penegakan Hak Asasi Manusia, agar terbebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Dengan keputusan ini DPR RI juga telah gagal meletakkan program perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai prioritas seperti yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Dengan langkah ini DPR RI juga mengingkari pentingnya UU PKS sebagai elemen dasar penegakan hukum untuk mengurangi aksi kekerasan seksual di Indonesia. Sebagai representasi politik rakyat, seharusnya DPR memahami bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual melalui RUU ini sungguh-sungguh dibutuhkan, dan telah ditunggu sejak lama sejak 2012 seperti yang sudah di-inisiasi oleh gerakan perempuan dan Komnas Perempuan sejak tahun 2012.
Selama 8 tahun, RUU kekerasan seksual hanya menjadi tumpukan berkas di meja para anggota Dewan yang terhormat, meski sesungguhnya pernah menjadi bagian dari Prolegnas Prioritas 2016. Selama 8 tahun ini pula korban berjatuhan tanpa ada perlindungan yang tegas dan mendapatkan keadilan. Dan sungguh menyedihkan, penantian itu malah akan berujung pupusnya harapan karena DPR malah mencabut RUU tersebut dari Prolegnas Prioritas 2020.
Keputusan DPR mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas bertentangan dengan prinsip kewajiban negara untuk memberikan dan menjamin perlindungan warga negara dari ancaman kekerasan seksual. DPR jelas-jelas menolak memahami dan tidak mempertimbangkan bahwa kekerasan seksual dengan segala akibatnya adalah persoalan sangat serius. Sikap anggota Dewan yang mengabaikan RUU secara langsung potensi pembiaran pelaku kekerasan seksual dari satu generasi ke generasi selanjutnya, tanpa ada kemampuan untuk memotong rantai kekerasan seksual.
Seharusnya pengesahan RUU PKS akan memberikan harapan baru bagi para korban dan penyintas untuk berani bersuara dan melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Seharusnya penegakan hukum bagi korban kekerasan seksual yang mungkin didapat melalui pengesahan UU PKS. Ironisnya DPR tidak mempunyai wawasan dan kemampuan untuk melihat dengan mata batin kerentanan yang dialami oleh kaum perempuan maupun anak-anak.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Indonesia Social Justice Network (ISJN), organisasi para alumni penerima beasiswa International Fellowship Programs (IFP) dari Ford Foundation, menyatakan sikap:
Sekali lagi ISJN mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama mendorong dan mendesak DPR segera mengembalikan RUU PKS pada Prolegnas Prioritas 2020 dan mendukung pembahasan dan pengesahan RUU tersebut.
ISJN juga mengajak semua warga masyarakat untuk bersama-sama mengkampanyekan gerakan anti kekerasan seksual dan membangun kepedulian dan solidaritas, saling mendukung dan menguatkan berbagai upaya memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat dengan untuk didengar oleh para anggota DPR yang terhormat.
Kami yang bersikap:
Indonesia Social Justice Network (ISJN)
Narahubung:
Diah Irawaty (+1 6077682247/iradiah@gmail.com)
Alfiyah Ashmad (+62 81335353339// damar.panuluh@gmail.com
Dominggus Elcid Li (+62 81219650415/elcidli@yahoo.com)
Renvi Liasari (+62 81270930680/renvi_liasari@yahoo.com)
Andi Ahmad Yani (+62 82202625423/andiahmadyani@yahoo.com)
Category: ISJN News