RACUN MATA AIR

Dominggus Elcid Li
IFP Alumni and Director of Institute of Resource Governance and Social Change

Alkisah menjelang pemilihan pemimpin warga hutan terjadi duel sengit antar kandidat. Tak hanya tim sukses dari kelompok kuda yang saling sikat, tim sukses dari kelompok sapi pun juga demikian. Mereka saling bertukar jurus silat lidah. Seperti halnya proses kaderisasi kelompok hewan dimana-mana, jurus silat lidah adalah jurus utama yang harus dipelajari. Kian tebal dan tahan banting lidah mereka, maka gerak silat lidah juga makin aduhai.

“Ilmu silat lidah adalah jurus nomor satu, jika anda berhasil memusingkan guru anda niscaya kemampuan anda sudah bisa diterapkan di hutan belantara ini, syaratnya ucapkan tanpa berkedip, tanpa keraguan, bahkan jika anda sudah bisa menipu diri anda sendiri, maka itu lah ilmu tertinggi,” kata salah satu tim sukses.

Tak hanya silat lidah itu perang media juga mereka mainkan pada aneka media tanamanan. Kutu-kutu pohon pun pusing sendiri, setiap berjalan dari daun satu ke daun yang lain wajah kerbau dan kuda dipasang hampir di seluruh daun. Meskipun para kutu, atau serangga ini adalah warga terbanyak di hutan belantara mereka tidak punya hak suara, sebab di hutan ini hanya mereka yang berkaki empat dan berbadan besar lah yang boleh ikut pemilihan.

Namun di suatu pagi, binatang hutan dikagetkan oleh suara teriakan menggelegar. Itu suara Si Kancil Kecil yang meneriakan lengkingan bahaya. Para binatang berlari menuju sumber suara. Beberapa hewan terkapar di sekitar sumber mata air. Air yang biasanya bening, terlihat keruh.

Satu ekor indur rusa dan anaknya terlihat terkapar di sebelah Barat mata air. Di sebelah atas batu hitam, lima ekor burung pipit juga mati. Dua ekor anak babi, semula masih coba diselamatkan dengar air kelapa. Tapi tak bertahan lama, mereka juga mati menyusul induk mereka.

Komisi investigasi pun segera dibentuk. Harimau pun ditunjuk untuk memimpin mencari barang bukti, dan kemungkinan siapa yang meracuni air hutan itu.

“Bukankah air ini milik bersama, sumber hidup kita, apa yang ada dalam pikiran para peracun….” guman tokek.

Situasi setelah keracunan mata air batu hitam benar-benar kacau. Banyak hewan takut untuk minum air. Mereka meminta agar tim kesehatan diterjunkan untuk memeriksa seluruh mata air. Akibat dari kejadian ini setidaknya selama tiga hari seluruh binatang tidak ada yang berani minum dan mandi di mata air.

Tim Kuda menuding bahwa ini lah kerjaan para pendukung sapi. Sebaliknya Tim Sapi menuding bahwa para anggota tim kuda lah yang sengaja memainkan isu ini. Perang media berlangsung berhari-hari. Beberapa orang yang dicurigai ditangkap oleh tim harimau. Sejumlah berita yang dibawa oleh para burung menyatakan bahwa ini adalah kerja ‘konspirasi interhutan’, ini ditunjukkan oleh jenis racun yang dipakai, yang tidak pernah ditemui di hutan sini.

“Racun ini tidak pernah dipakai dimana pun bahkan oleh tim keamanan hutan ini…dan sayangnya dua ekor binatang yang ditangkap juga tidak bisa ditanya, karena mereka menggigit lidah mereka sendiri hingga putus dan mati,” kata Harimau Ketua Tim.

Korban hewan yang mati diliput secara luas. Sejumlah burung gagak penguasa media menggunakan momentum ini untuk mencari keuntungan. Barang siapa ingin informasi terkini harus membayar dengan harga tertentu. Hewan-hewan yang tinggal di pinggir hutan benar-benar ketakutan, dan burung gagak benar-benar panen keuntungan. Ia tinggal menyebut nama barang dan hewan-hewan itu memberikan. Hal yang sama juga terjadi diantara tim kerbau dan tim kuda, anggota tim juga panen besar karena untuk mendapatkan strategi baru, mereka perlu diberi makan banyak.

“Kalau kami kurang banyak makan, kami tidak bisa berpikir, jika pikiran kami salah maka yang rugi adalah keluarga besar kerbau sendiri,” kata salah seorang tim kuda.
Dalam tim kuda juga demikian, “Rumput yang bergizi adalah kunci!”

Rumput-rumput yang tumbuh dengan cepat habis dimakan oleh tim sukses kerbau dan kuda.
Fokus kedua tim diarahkan pada kasus mata air. Sebisa mungkin peristiwa ini dipelajari dan menjadi keuntungan mereka.

Sayang seribu sayang, racun air yang dipakai untuk meracuni mata air adalah jenis racun mematikan yang tidak dikenal. Ular Kobra yang biasanya menjadi pawang racun pun gagal mendeteksi jenis racun mata air. Sudah tiga purnama tim bekerja keras, tetapi tidak ada hasil.

Tanaman-tanaman di sekitar mata air pun mati. Daun-daun gugur di seantero hutan.
Tanda-tanda hutan ini akan mati tampak di depan mata. Racun ini hidup di air dan menyebar dengan cepat.

“Kenapa susah sekali hewan-hewan berkaki empat ini belajar, kalau hutan ini mati, apa gunanya berebut siapa yang hendak menjadi pemimpin hutan?” tanya Kutu Pohon.

Hutan belantara itu meranggas. Hewan-hewan mati keracunan air, yang lain mati saling berebut rumput yang masih tersisa. Yang lain sibuk berperang memperebutukan air yang tersisa. Hutan yang dahulu hijau dan dipenuhi aneka macam hewan kini tinggal kenangan.

Ramalan Kera Putih yang selalu dikisahkan oleh kera dari satu generasi ke generasi yang lain pun mendapatkan bukti. Dalam ajaran yang diwarisi para kera disebutkan bahwa ‘Jangan pernah berbuat kotor pada air, karena air adalah hukum tertinggi, barang siapa merusak mata air, maka seumur hidup hanya ada air mata’.